PKL UNIMAS Mojokerto

PKL UNIMAS Mojokerto
Bedugul Bali

Jumat, 15 Oktober 2010

Problematik Pengajaran Novel di SMA


PROBLEMATIK PENGAJARAN APRESIASI NOVEL DI SMA

I.                   PENDAHULUAN
Dalam setiap pertemuan ilmiah dan seminar kebahasaan kesasteraan, keluhan umum yang selalu terdengar dari pada pengajar bahasa dan sastera Indonesia di SMA antara lain ialah alokasi waktu pokok bahasan apresiasi Bahasa dan Sastera Indonesia dirasakan sangat kurang. Bahan pengajaran pokok bahasan tersebut cukup banyak dan luas. Sementara itu para pengajar hasus pandai berkelit jika bahan yang termuat dalam pokok bahasan tersebut ingin diselesaikan dengan sungguh-sungguh bersifat aparesiatif. Para guru sastera Indonesia yang sejalan dengan pemikiran Dr. Boen S. Oemariyati (1978:195) dalam hal pengajaran sastera di sekolah menengah, akan dihadapkan pada dilema yang sudah “mengklasik” yaitu:ingin bersifat apresiatif tetapi waktunya tidak mencukupi.
Keluhan lain adalah sulitnya menemukan buku-buku pelengkap sastera Indonesia yang memadahi (Rahmanto,1988:161), serta minimnya buku-buku karya sastera yang ditunjuk sebagai bahan pengajaran sastera di perpustakaan sekolah, terlebih-lebih untuk pengajaran novel (bandingkan Tarno,1988:32). Hal semacam ini kadang-kadang masih ditambah lagi dengan kurangnya minat membaca buku karya sastera, baik dari pihak guru maupun siswanya. Kendala dari pihak guru (biasanya sudah “mengklasik”) antara lain ialah tiada waktu lagi untuk mengulang baca novel-novel yang dipergunakan sebagai bahan pengajaran sastera. Sementara dari pihak siswa alasan yang sudah umum yang sering terdengar adalah ketiadaktertarikan mereka untuk membaca novel-novel terbitan lama yang berstatus sastera.
Kegemaran membaca novel bagi para siswa memang ada (Chamdiah,1981:36), tetapi tampaknya lebih ditujukan pada membaca novel-novel populer yang lebih mengasyikkan baik jalan cerita maupun bahasanya. Akhirnya jalan pintas pun ditempuh. Baik guru maupun siswa, sama-sama menggantungkan buku ringkasan novel yang banyak dijumpai di pasaran. Jika demikian yang terjadi, bagaimana mereka akan dapat menaksir unsur alur, tokoh, tema dan unsur-unsur ekstrinsik-instrinsik dalam novel-novel yang harus dipakai sebagai bahan pengajaran seperti : Salah Asuhan, Siti Nurbaya, Belenggu, Layar Terkebang, Pada Sebuah Kapal, Raumanen, Harimau! Harimau!, Pergolakan, Robohnya Surau Kami, Burung-burung Manyar dan sebagainya?. Mereka tidak salah jika akhirnya mereka hanya akan menghafalkan nama pengarang, karya-karyanya, tokoh utama, tokoh tambahannya, sinopsisnya dan tema yang sudah dikemukakan oleh kebanyakan buku paket dan buku-buku ringkasan novel tersebut?. Padahal novel-novel tersebut kebanyakan keluar dalam soal-soal ulangan, soal-soal EBTANAS, atau tes masuk perguruan tinggi.

II.                MASALAH
Makalah ini akan memfokuskan beberapa kendala pengajaran novel di SMA. Beberapa indikator yang dipergunakan adalah hasil wawancara dari teman-teman guru Bahasa Indonesia yang sekota dengan penulis. Kendala tersebut merupakan problematik pengajaran apresiasi novel yaitu : (1) alokasi waktu, (2) pengadaan buku-buku novel di perpustakaan sekolah, (3) buku paket Pelajaran Bahasa dan Sastera Indonesia, (4) soal-soal EBTANAS, (5) minat baca membaca karya sastera.

III.             PROBLEMATIK PENGAJARAN APRESIASI NOVEL
3.1  ALOKASI WAKTU
Keluhan yang umum terdengar berkisar pada masalah alokasi waktu. Pokok bahasan Apresiasi Bahasa dan Sastera Indonesia hanyalah bagian kecil dari keseluruhan bahan pengajaran bahasa Indonesia yang terdiri atas: membaca, menulis, menyimak, berbicara dan apresiasi bahasa dan sastera Indonesia. Kelima pokok bahasan tersebut dipegang oleh satu orang pengajar bahasa Indonesia, belum lagi guru tersebut mengajar di kelas tingkatan yang berbeda. Dari kelima pokok bahasan tersebut tampaknya dipadukan dalam setiap kali tatap muka dan yang paling membutuhkan bacaan yang lebih banyak jika ingin bersifat apresiatif adalah apresiasi sastera. Di buku paket Terampil Berbahasa Indonesia kadang informasi tentang sastera kurang sekali dan hal ini mengakibatkan guru sering kelabakan dalam mengajarkan apresiasi sastera sehingga guru Bahasa Indonesia kurang antusias dalam mengajarkan apresiasi sastera.Siswa tidak termotivasi untuk membaca novel lengkap, apalagi novel tersebut tidak ada di perpustakaan sekolah.

3.2  PENGADAAN BUKU-BUKU NOVEL DI PERPUSTAKAAN SEKOLAH
Setiap SMA memang dilengkapi dengan perpustakaan sekolah. Tetapi, kebanyakan buku-buku novel di perpustakaan sekolah berisikan lingkungan hidup, kemanusiaan, petualangan dan sebagainya, tidak ada novel-novel yang seperti ditunjuk kurikulum.
Jika ada novel yang ditunjuk dalam kurikulum kemungkinan hanya satu judul, padahal satu kelas siswanya sebanyak 40 orang atau lebih, apakah artinya satu buku untuk setiap kelas?.

3.3  BUKU PAKET PELAJARAN BAHASA DAN SASTERA INDONESIA
Setelah pihak Departemen  Pendidikan dan Kebudayaan  yang sekarang menjadi Departemen Pendidikan Nasional  memberikan kesempatan pada pihak swasta untuk mengadakan buku paket bahasa Indonesia, dewasa ini di pasaran beredar buku paket yang disusun sesuai dengan kurikulum yang berlaku . Ini jelas sesuatu yang sangat positif, terlepas dari bermutu atau  tidaknya buku paket tersebut.
Ada beberapa buku paket terbitan Bandung, Jakarta, dan Malang yang menyampaikan bahan pengajaran Apresiasi Bahasa dan Sastera Indonesia, serta bentuk latihan yang ditawarkan belum menjabarkan secara benar bagaimana periodisasi sejarah sastera Indonesia. Buku-buku tersebut belum menjabarkan secara benar bagaimana menaksir dan menafsir unsur instrinsik dan esktrinsik karya sastera , dan belum secara tepat menangkap maksud bagaimana membuat kritik sederhana atas karya-karya sastera. Secara umum, dari sudut latihan yang dikemukakan, di samping belum sepenuhnya menjawab keterampilan proses seperti yang dikehendaki kurikulum, latihannya kadang-kadang tidak proporsional, tidak memperhitungkan waktu dan tingkat kemampuan siswa. Hanya buku Paket Terampil Berbahasa Indonesia 4 yang khusus jurusan Bahasa yang sudah cukup membantu guru-guru di dalam mengajarkan materi Bahasa dan Sastera Indonesia.

3.4  SOAL-SOAL EBTANAS
Hampir setiap guru bahasa dan sastera Indonesia yang penulis jumpai mengemukakan masalah soal EBTANAS. Dalam soal EBTANAS yang menyangkut sastera sangat sedikit di samping itu bentuk soal mengarah pada bentuk hafalan. Menurut Penulis hal ini tidak perlu memaksa siswa untuk menghafal novel-novel yang cukup tebal.
3.5  MINAT MEMBACA KARYA SASTERA
Kendala yang paling erat adalah kurangnya minat para siswa untuk membaca karya sastera. Hal yang sangat aneh bahwa tidak satupun  surat kabar  yang terbit di negara kita ini yang tidak memuat cerita  bersambung dan cerita pendek, demikian juga majalah-majalah yang ada. Apakah itu bukan menunjukkan suatu indikasi bahwa novel dan cerpen masih digemari dan dibaca orang, termasuk para siswa SMA?. Apalagi majalah Horison yang selalu terbit setiap bulan dikirim secara gratis ke sekolah-sekolah, terutama SMA di Indonesia. Kenyataannya mengapa  para guru  sastera mengeluh bahwa para siswanya kurang berminat untuk membaca karya sastera? Padahal karya-karya Marga T, Ashadi Siregar, Maria A Sarjono, Hilman dan sebagainya sangat laris diminati oleh para siswa.
Ada beberapa guru SMA  yang mengatakan bahwa mereka pernah membuat suatu angket  kepada  para siswanya. Dari  hasil jawaban angket tersebut menyatakan bahwa novel Salah Asuhan atau Siti Nurbaya tidak menarik buat siswa. Hal ini disebabkan ceritanya sudah kuno dan membosankan, apalagi guru bahasa Indonesia tidak memotivasi siswanya untuk membaca novel tersebut.

4. ALTERNATIF PEMECAHAN
4.1 MASALAH ALOKASI WAKTU YANG  KURANG
Sudah bukan rahasia lagi bahwa kecenderungan guru dalam mengajar (termasuk sastera) selalu ingin tuntas, dalam arti setiap bahan yang ada dalam kurikulum harus diterangkan, dijelaskan dalam bentuk ceramah. Siswa tinggal menelan, dan kelak diharapkan dapat memproduksi lagi dengan tepat dalam  bentuk ulangan/tes. Bila demikian yang terjadi tentu saja alokasi waktu yang tersedia pasti kurang. Padahal dalam kurikulum 1994 bentuk pengajaran apresiasi sastera banyak menggunakan keterampilan proses yang mengacu kepada bagaimana seseorang belajar, apa yang ia pelajari, dan bagaimana ia mengelola atau mengolah perolehannya. Keterampilan proses erat hubungannya dengan strategi CBSA yang memungkinkan dapat mengatasi keterbatasan alokasi waktu tersebut. Misalnya: Siswa kita beri tugas untuk dikerjakan di rumah, di kelas tinggal mendiskusikannya atau memecahkan persoalan siswa dalam mengapresiasi karya sastera tersebut. Bahkan siswa kita beri kesempatan untuk bertanya jawab dan guru  meluruskannya apabila ada hal-hal yang menyimpang dari pokok bahasan yang kita bahas saat itu. Dengan demikian alokasi waktu tidak terbuang begitu saja dan sangat berharga bagi siswa, sehingga siswa dapat merasa puas dengan hal tersebut maka pengajaran apresiasi sastera tuntas.

4.2 PENGADAAN BUKU-BUKU NOVEL DI PERPUSTAKAAN SEKOLAH
Masalah ini cukup kompleks. Kita berusaha mengadakan pendekatan kepada kepala sekolah untuk pengadaan buku-buku novel di perpustakaan. Bila memang tidak terprogram oleh program sekolah,kita mengusulkan kepada kepala sekolah untuk menggali dana melalui siswa yang akan lulus untuk menyumbangkan sebuah novel per kelompok atau perorangan. Dengan demikian koleksi buku-buku novel akan bertambah terus di perpustakaan, sehingga siswa berikutnya akan bisa menikmati novel-novel tersebut sebagai sumbangan dari kakak kelasnya yang sudah lulus. Di samping itu siswa baru yang akan menjadi anggota perpustakaan diwajibkan membeli kartu anggota untuk menjadi peminjam buku perpustakaan dengan dana yang cukup. Sebagian dari penjualan kartu anggota akan dipakai untuk pengadaan buku-buku novel yang dianjurkan oleh kurikulum tersebut.
Alternatif lainnya yang pernah penulis lakukan karena penulis pernah menjadi pembina perpustakaan sekolah adalah siswa kita himbau untuk mengadakan bakti sosial setiap bulan sekali untuk menyumbangkan koran bekas ke sekolah mulai kelas I sampai kelas III. Koran bekas itu kita jual dan hasilnya lumayan untuk pengadaan buku-buku novel di perpustakaan sekolah. Setiap bulan buku-buku novel bertambah terus jumlahnya. Siswa kita motivasi untuk beramal demi peningkatan mutu pendidikan sekolah dan membantu siswa lain yang belum pernah membaca novel tersebut.

4.3 BUKU PAKET PELAJARAN BAHASA DAN SASTERA INDONESIA
Banyak buku paket pelajaran Bahasa dan Sastera Indonesia yang ditawarkan kepada para konsumsi jelas pertanda baik, karena  buku paket Terampil Berbahasa Indonesia memang kurang memadahi jumlahnya di setiap sekolah. Di sekolah penulis, satu buku paket untuk empat siswa. Di samping buku paket Terampil Berbahasa Indonesia kita pinjamkan ke siswa per kelompok, siswa kita himbau untuk membeli buku paket lainnya sebagai pelengkap saja. Hanya masalahnya bagaimana mengatasi kendala yang berasal dari buku paket yang hanya mencantumkan label CBSA, ini merupakan tantangan bagi para pakar untuk ikut menggarapnya, menghasilkan buku paket yang sungguh-sungguh berorientasi pada CBSA lengkap dengan buku siswa, buku guru, dan LKS.


4.4 EVALUASI EBTANAS
Soal-soal EBTANAS  kadang hanya berupa hafalan, teoritis tanpa melihat kondisi siswa yang beraneka ragam di Indonesia. Bahkan soal-soal EBTANAS sering tidak bisa terjawab oleh siswa, karena terlalu teoritis dan hafalan. Soal apresiasi sastera hanya sedikit dan tidak mencerminkan nilai-nilai kehidupan masyarakat, apalagi soal apresiasi sastera hanya menanyakan siapa pengarangnya, terbitan angkatan berapa dan sebagainya yang berupa hafalan saja. Tujuan pengajaran sastera bukan hanya sekedar untuk itu, atau lebih sempitnya lagi novel dipakai sebagai bahan pengajaran sastera bukan hanya sekedar untuk diketahui siapa pengarangnya dan bagaimana jalan ceritanya tetapi ada manfaat yang banyak diperoleh dengan membaca novel yang berbobot sastera. Manfaat itu misalnya:memberikan kesadaran kepada pembacanya tentang kebenaran-kebenaran hidup ini, kita dapat memperoleh pengetahuan dan pemahaaman yang mendalam tentang manusia, dunia dan kehidupan , menjadikan manusia berbudaya dan dewasa, dan masih banyak lagi manfaat karya sastera yang berbentuk novel.
Soal-soal EBTANAS seharusnya mencerminkan seperti itu dan soal-soal masuk ke perguruan tinggi juga senada dengan soal-soal EBTANAS, biar siswa yang akan mengikuti tes perguruan tinggi tidak gentar sama sekali, sebab mereka sudah mengenal soal semacam sewaktu mereka mengikuti EBTANAS.

4.5 MINAT MEMBACA KARYA SASTERA
Kendala yang terakhit ini saya kira bukan hanya pada karya sastera, tetapi juga lebih meluas dalam arti minat membaca secara keseluruhan. Yang menyebabkan kendala tersebut sangat kompleks. Salah satu alternatif untuk memupuk minat membaca novel yang berbobot sastera adalah guru memberi tugas siswa untuk membuat sinopsisnya dan membuat komentar tentang isi novel yang bisa dihubungkan dengan nilai kehidupan sekarang, nilai moral, nilai budaya tempat siswa tinggal dan nilai-nilai sastera lainnya.
Sebenarnya kegemaran membaca novel populer dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan minat baca novel serius, tinggal bagaimana guru mengantisipasinya. Dalam hal ini Dr. Boen Sri Oemaryati mempunyai cara yang menarik untuk diikuti (Boen. S Oemaryati,1988:3-8), antara lain dengan jalan komparatif. Misalnya jika bahan pengajarannya novel Salah Asuhan, untuk memancing perhatian para siswa dapat dilakukan dengan jalan menceritakan Sok Nyentrik yang ada kesejajaran temannya. Dengan demikian juga jika akan membicarakan novel Sutan Takdir Alisyahbana yang berjudul Dian Yang Tak Kunjung Padam, para siswa yang pernah membaca Cintaku di Kampus Biru karya Ashadi Siregar diminta terlebih dahulu mengisahkannya, kemudian diadakan diskusi untuk membandingkan perilaku tokoh, perbedaan latar dan konterks ceritanya.
Cara lain dapat dilakukan dengan jalan: (1) memberi contoh, (2) memberi sugesti, (3) memberi kemudahan, dan (4) memberi pengukuhan. (Moody,1979:45-48), atau Rahmanto,1988:66-70). Memberi contoh dimaksudkan misalnya dengan jalan membacakan bagian-bagian tertentu dari novel tersebut yang menarik perhatian para siswa dengan suara yang menggetarkan hati siswa bila ceritanya sedih, atau dengan suara ceria bila ceritanya gembira penuh humor, bahkan dengan suara yang menyeramkan bila ceritanya penuh dengan yang mengerikan. Dengan demikian siswa terpukau dan merasa tertarik untuk membaca sendiri novel tersebut di rumah. Memberi sugesti  maksudnya memberikan pengaruh kuat yang dapat menggugah hati para siswa dengan jalan misalnya memberikan informasi dengan jelas terhadap buku yang diperoleh (di perpustakaan sekolah, di perpustakaan wilayah, di tempat penyewaan novel atau di toko buku novel). Bahkan menceritakan kejadian-kejadian tertentu dari novel dengan dihubungkan dengan pengalaman guru itu sendiri atau diberi ulasan menarik yang dihubungkan dengan kejadian-kejadian di masyarakat, sehingga membuka mata hati siswa betapa novel tersebut bisa dijadikan contoh, pegangan dalam kehidupan siswa di masyarakat. Memberi kemudahan dimaksudkan sebagai usaha konkret dari guru tersebut untuk mengadakan buku tersebut (paling mudah menambah eksemplar buku tersebut di perpustakaan atau fotokopi buku tersebut), sehingga siswa dengan mudah memperoleh buku tersebut walaupun fotokopinya, yang penting siswa dapat menikmati dan membaca sendiri novel tersebut. Dan yang terakhir memberikan pengukuhan artinya memeriksa hasil laporan para siswa dengan serius. Laporan dapat dipolakan sebagai berikut:(1) judul buku, (2) nama pengarang, (3) penerbit, (4) tahun terbit,( 5) tanggal novel tersebut dibaca, (6) siapa saja tokoh ceritanya, (7) masalah apa yang dikemukakan, (8) unsur instrinsik novel, (9) unsur ekstrinsik novel, (10) kutipan-kutipan menarik, (11) komentar dan kritik terhadap novel tersebut, (12) pendapat para pakar mengenai novel tersebut. Bahkan hasilnya dijilid dan disumbangkan ke perpustakaan sekolah untuk menambah koleksi perpustakaan, sehingga siswa merasa bangga nama dan karyanya dapat dibaca oleh siswa lain dari tahun ke tahun yang sangat bermanfaat untuk siswa lain. Dan siapa tahu hasil karya siswa tersebut dapat dibaca oleh anaknya di kemudian hari, bila anaknya bersekolah di sekolah itu. Itu merupakan kebanggaan tersendiri dan kenangan yang tak ternilai harganya.


5. PENUTUP
Problematik pengajaran apresiasi sastera di atas merupakan pengalaman penulis yang mungkin dapat bermanfaat bagi guru bahasa Indonesia yang lain. Ini hanya merupakan hasil tanya jawab dalam frekuensi waktu yang cukup lama, kemudian dicoba untuk dinfentarisasikan, lalu dicoba pula untuk dicarikan alternatif jawabannya.
Dengan metode yang tepat dan ditambah media yang menarik problematik pengajaran apresiasi sastera dapat diatasi. Apalagi bila apresiasi novel dilombakan antarsiswa di sekolah itu pada tiap tahun, pasti dapat menambah minat baca siswa terhadap novel tersebut. Apalagi bila akhir cawu diadakan dialog sastera, atau seminar di sekolah itu. Bahkan bila perlu mendatangkan para pakar untuk memotivasi minat baca siswa terhadap novel. Palingk tidak guru tersebut mengadakan lesehan sambil berbincang-bincang dengan siswa tentang berbagai macam novel sesuai dengan angkatannya. Dan bila perlu mengundang guru lain dari sekolah lain dan  mengundang siswa lain yang berminat tentag apresiasi novel dari sekolah lain.









DARTAR RUJUKAN

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.1994.Kurikulum SMA 1994 GBPP Bidang Studi Bahasa Indonesia
Chamdiah,Siti,dkk.1981.Kemampuan Mengapresiasi Cerita Rekaan Siswa Kelas III SMA DKI Jakarta.Jakarta:Pusat Bahasa
Moody,H.L.B.1979.The Teaching of Literature.London:Longman
Nicholls,Andrey &Howard.1976.Deeloping A Curriculum A Practical Guide.London:George Allen & Unwin Ltd
Oemaryati,Boen Sri.1983.Pengajaran Sastera Indonesia dan Pembinaan Apresiasi Sastera.Kongres Bahasa Indonesia III.Jakarta:Pusat Bahasa
--------------.1988.Pembinaan Apresiasi Sastera dalam Proses Belajar Mengajar. Makalah Bulan Bahasa.IKIP Jakarta
Rahmanto,B.1988.Mencari Model Buku Teks Pengajaran Sastera yang Apresiatif.Pembinaan Bahasa Indonesia.Sept.Th 9,3
-------------.1988.Metode Pengajaran Sastera.Yogyakarta:Kanisius
Sarwadi.1974.Pengantar Pengajaran Sastera.Yogyakarta:FKSS IKIP
Sumardjo,Jakob.1988.Masalah Pemasyarakatan Sastera di Indonesia.Makalah Kongres Bahasa Indonesia V
Tarno.1988.Pengajaran Bahasa dan Sastera Indonesia di Daerah-daerah Pinggiran.Makalah konagres Bahasa V
PROBLEMATIK PENGAJARAN APRESIASI NOVEL DI SMA

I.                   PENDAHULUAN
Dalam setiap pertemuan ilmiah dan seminar kebahasaan kesasteraan, keluhan umum yang selalu terdengar dari pada pengajar bahasa dan sastera Indonesia di SMA antara lain ialah alokasi waktu pokok bahasan apresiasi Bahasa dan Sastera Indonesia dirasakan sangat kurang. Bahan pengajaran pokok bahasan tersebut cukup banyak dan luas. Sementara itu para pengajar hasus pandai berkelit jika bahan yang termuat dalam pokok bahasan tersebut ingin diselesaikan dengan sungguh-sungguh bersifat aparesiatif. Para guru sastera Indonesia yang sejalan dengan pemikiran Dr. Boen S. Oemariyati (1978:195) dalam hal pengajaran sastera di sekolah menengah, akan dihadapkan pada dilema yang sudah “mengklasik” yaitu:ingin bersifat apresiatif tetapi waktunya tidak mencukupi.
Keluhan lain adalah sulitnya menemukan buku-buku pelengkap sastera Indonesia yang memadahi (Rahmanto,1988:161), serta minimnya buku-buku karya sastera yang ditunjuk sebagai bahan pengajaran sastera di perpustakaan sekolah, terlebih-lebih untuk pengajaran novel (bandingkan Tarno,1988:32). Hal semacam ini kadang-kadang masih ditambah lagi dengan kurangnya minat membaca buku karya sastera, baik dari pihak guru maupun siswanya. Kendala dari pihak guru (biasanya sudah “mengklasik”) antara lain ialah tiada waktu lagi untuk mengulang baca novel-novel yang dipergunakan sebagai bahan pengajaran sastera. Sementara dari pihak siswa alasan yang sudah umum yang sering terdengar adalah ketiadaktertarikan mereka untuk membaca novel-novel terbitan lama yang berstatus sastera.
Kegemaran membaca novel bagi para siswa memang ada (Chamdiah,1981:36), tetapi tampaknya lebih ditujukan pada membaca novel-novel populer yang lebih mengasyikkan baik jalan cerita maupun bahasanya. Akhirnya jalan pintas pun ditempuh. Baik guru maupun siswa, sama-sama menggantungkan buku ringkasan novel yang banyak dijumpai di pasaran. Jika demikian yang terjadi, bagaimana mereka akan dapat menaksir unsur alur, tokoh, tema dan unsur-unsur ekstrinsik-instrinsik dalam novel-novel yang harus dipakai sebagai bahan pengajaran seperti : Salah Asuhan, Siti Nurbaya, Belenggu, Layar Terkebang, Pada Sebuah Kapal, Raumanen, Harimau! Harimau!, Pergolakan, Robohnya Surau Kami, Burung-burung Manyar dan sebagainya?. Mereka tidak salah jika akhirnya mereka hanya akan menghafalkan nama pengarang, karya-karyanya, tokoh utama, tokoh tambahannya, sinopsisnya dan tema yang sudah dikemukakan oleh kebanyakan buku paket dan buku-buku ringkasan novel tersebut?. Padahal novel-novel tersebut kebanyakan keluar dalam soal-soal ulangan, soal-soal EBTANAS, atau tes masuk perguruan tinggi.

II.                MASALAH
Makalah ini akan memfokuskan beberapa kendala pengajaran novel di SMA. Beberapa indikator yang dipergunakan adalah hasil wawancara dari teman-teman guru Bahasa Indonesia yang sekota dengan penulis. Kendala tersebut merupakan problematik pengajaran apresiasi novel yaitu : (1) alokasi waktu, (2) pengadaan buku-buku novel di perpustakaan sekolah, (3) buku paket Pelajaran Bahasa dan Sastera Indonesia, (4) soal-soal EBTANAS, (5) minat baca membaca karya sastera.

III.             PROBLEMATIK PENGAJARAN APRESIASI NOVEL
3.1  ALOKASI WAKTU
Keluhan yang umum terdengar berkisar pada masalah alokasi waktu. Pokok bahasan Apresiasi Bahasa dan Sastera Indonesia hanyalah bagian kecil dari keseluruhan bahan pengajaran bahasa Indonesia yang terdiri atas: membaca, menulis, menyimak, berbicara dan apresiasi bahasa dan sastera Indonesia. Kelima pokok bahasan tersebut dipegang oleh satu orang pengajar bahasa Indonesia, belum lagi guru tersebut mengajar di kelas tingkatan yang berbeda. Dari kelima pokok bahasan tersebut tampaknya dipadukan dalam setiap kali tatap muka dan yang paling membutuhkan bacaan yang lebih banyak jika ingin bersifat apresiatif adalah apresiasi sastera. Di buku paket Terampil Berbahasa Indonesia kadang informasi tentang sastera kurang sekali dan hal ini mengakibatkan guru sering kelabakan dalam mengajarkan apresiasi sastera sehingga guru Bahasa Indonesia kurang antusias dalam mengajarkan apresiasi sastera.Siswa tidak termotivasi untuk membaca novel lengkap, apalagi novel tersebut tidak ada di perpustakaan sekolah.

3.2  PENGADAAN BUKU-BUKU NOVEL DI PERPUSTAKAAN SEKOLAH
Setiap SMA memang dilengkapi dengan perpustakaan sekolah. Tetapi, kebanyakan buku-buku novel di perpustakaan sekolah berisikan lingkungan hidup, kemanusiaan, petualangan dan sebagainya, tidak ada novel-novel yang seperti ditunjuk kurikulum.
Jika ada novel yang ditunjuk dalam kurikulum kemungkinan hanya satu judul, padahal satu kelas siswanya sebanyak 40 orang atau lebih, apakah artinya satu buku untuk setiap kelas?.

3.3  BUKU PAKET PELAJARAN BAHASA DAN SASTERA INDONESIA
Setelah pihak Departemen  Pendidikan dan Kebudayaan  yang sekarang menjadi Departemen Pendidikan Nasional  memberikan kesempatan pada pihak swasta untuk mengadakan buku paket bahasa Indonesia, dewasa ini di pasaran beredar buku paket yang disusun sesuai dengan kurikulum yang berlaku . Ini jelas sesuatu yang sangat positif, terlepas dari bermutu atau  tidaknya buku paket tersebut.
Ada beberapa buku paket terbitan Bandung, Jakarta, dan Malang yang menyampaikan bahan pengajaran Apresiasi Bahasa dan Sastera Indonesia, serta bentuk latihan yang ditawarkan belum menjabarkan secara benar bagaimana periodisasi sejarah sastera Indonesia. Buku-buku tersebut belum menjabarkan secara benar bagaimana menaksir dan menafsir unsur instrinsik dan esktrinsik karya sastera , dan belum secara tepat menangkap maksud bagaimana membuat kritik sederhana atas karya-karya sastera. Secara umum, dari sudut latihan yang dikemukakan, di samping belum sepenuhnya menjawab keterampilan proses seperti yang dikehendaki kurikulum, latihannya kadang-kadang tidak proporsional, tidak memperhitungkan waktu dan tingkat kemampuan siswa. Hanya buku Paket Terampil Berbahasa Indonesia 4 yang khusus jurusan Bahasa yang sudah cukup membantu guru-guru di dalam mengajarkan materi Bahasa dan Sastera Indonesia.

3.4  SOAL-SOAL EBTANAS
Hampir setiap guru bahasa dan sastera Indonesia yang penulis jumpai mengemukakan masalah soal EBTANAS. Dalam soal EBTANAS yang menyangkut sastera sangat sedikit di samping itu bentuk soal mengarah pada bentuk hafalan. Menurut Penulis hal ini tidak perlu memaksa siswa untuk menghafal novel-novel yang cukup tebal.
3.5  MINAT MEMBACA KARYA SASTERA
Kendala yang paling erat adalah kurangnya minat para siswa untuk membaca karya sastera. Hal yang sangat aneh bahwa tidak satupun  surat kabar  yang terbit di negara kita ini yang tidak memuat cerita  bersambung dan cerita pendek, demikian juga majalah-majalah yang ada. Apakah itu bukan menunjukkan suatu indikasi bahwa novel dan cerpen masih digemari dan dibaca orang, termasuk para siswa SMA?. Apalagi majalah Horison yang selalu terbit setiap bulan dikirim secara gratis ke sekolah-sekolah, terutama SMA di Indonesia. Kenyataannya mengapa  para guru  sastera mengeluh bahwa para siswanya kurang berminat untuk membaca karya sastera? Padahal karya-karya Marga T, Ashadi Siregar, Maria A Sarjono, Hilman dan sebagainya sangat laris diminati oleh para siswa.
Ada beberapa guru SMA  yang mengatakan bahwa mereka pernah membuat suatu angket  kepada  para siswanya. Dari  hasil jawaban angket tersebut menyatakan bahwa novel Salah Asuhan atau Siti Nurbaya tidak menarik buat siswa. Hal ini disebabkan ceritanya sudah kuno dan membosankan, apalagi guru bahasa Indonesia tidak memotivasi siswanya untuk membaca novel tersebut.

4. ALTERNATIF PEMECAHAN
4.1 MASALAH ALOKASI WAKTU YANG  KURANG
Sudah bukan rahasia lagi bahwa kecenderungan guru dalam mengajar (termasuk sastera) selalu ingin tuntas, dalam arti setiap bahan yang ada dalam kurikulum harus diterangkan, dijelaskan dalam bentuk ceramah. Siswa tinggal menelan, dan kelak diharapkan dapat memproduksi lagi dengan tepat dalam  bentuk ulangan/tes. Bila demikian yang terjadi tentu saja alokasi waktu yang tersedia pasti kurang. Padahal dalam kurikulum 1994 bentuk pengajaran apresiasi sastera banyak menggunakan keterampilan proses yang mengacu kepada bagaimana seseorang belajar, apa yang ia pelajari, dan bagaimana ia mengelola atau mengolah perolehannya. Keterampilan proses erat hubungannya dengan strategi CBSA yang memungkinkan dapat mengatasi keterbatasan alokasi waktu tersebut. Misalnya: Siswa kita beri tugas untuk dikerjakan di rumah, di kelas tinggal mendiskusikannya atau memecahkan persoalan siswa dalam mengapresiasi karya sastera tersebut. Bahkan siswa kita beri kesempatan untuk bertanya jawab dan guru  meluruskannya apabila ada hal-hal yang menyimpang dari pokok bahasan yang kita bahas saat itu. Dengan demikian alokasi waktu tidak terbuang begitu saja dan sangat berharga bagi siswa, sehingga siswa dapat merasa puas dengan hal tersebut maka pengajaran apresiasi sastera tuntas.

4.2 PENGADAAN BUKU-BUKU NOVEL DI PERPUSTAKAAN SEKOLAH
Masalah ini cukup kompleks. Kita berusaha mengadakan pendekatan kepada kepala sekolah untuk pengadaan buku-buku novel di perpustakaan. Bila memang tidak terprogram oleh program sekolah,kita mengusulkan kepada kepala sekolah untuk menggali dana melalui siswa yang akan lulus untuk menyumbangkan sebuah novel per kelompok atau perorangan. Dengan demikian koleksi buku-buku novel akan bertambah terus di perpustakaan, sehingga siswa berikutnya akan bisa menikmati novel-novel tersebut sebagai sumbangan dari kakak kelasnya yang sudah lulus. Di samping itu siswa baru yang akan menjadi anggota perpustakaan diwajibkan membeli kartu anggota untuk menjadi peminjam buku perpustakaan dengan dana yang cukup. Sebagian dari penjualan kartu anggota akan dipakai untuk pengadaan buku-buku novel yang dianjurkan oleh kurikulum tersebut.
Alternatif lainnya yang pernah penulis lakukan karena penulis pernah menjadi pembina perpustakaan sekolah adalah siswa kita himbau untuk mengadakan bakti sosial setiap bulan sekali untuk menyumbangkan koran bekas ke sekolah mulai kelas I sampai kelas III. Koran bekas itu kita jual dan hasilnya lumayan untuk pengadaan buku-buku novel di perpustakaan sekolah. Setiap bulan buku-buku novel bertambah terus jumlahnya. Siswa kita motivasi untuk beramal demi peningkatan mutu pendidikan sekolah dan membantu siswa lain yang belum pernah membaca novel tersebut.

4.3 BUKU PAKET PELAJARAN BAHASA DAN SASTERA INDONESIA
Banyak buku paket pelajaran Bahasa dan Sastera Indonesia yang ditawarkan kepada para konsumsi jelas pertanda baik, karena  buku paket Terampil Berbahasa Indonesia memang kurang memadahi jumlahnya di setiap sekolah. Di sekolah penulis, satu buku paket untuk empat siswa. Di samping buku paket Terampil Berbahasa Indonesia kita pinjamkan ke siswa per kelompok, siswa kita himbau untuk membeli buku paket lainnya sebagai pelengkap saja. Hanya masalahnya bagaimana mengatasi kendala yang berasal dari buku paket yang hanya mencantumkan label CBSA, ini merupakan tantangan bagi para pakar untuk ikut menggarapnya, menghasilkan buku paket yang sungguh-sungguh berorientasi pada CBSA lengkap dengan buku siswa, buku guru, dan LKS.


4.4 EVALUASI EBTANAS
Soal-soal EBTANAS  kadang hanya berupa hafalan, teoritis tanpa melihat kondisi siswa yang beraneka ragam di Indonesia. Bahkan soal-soal EBTANAS sering tidak bisa terjawab oleh siswa, karena terlalu teoritis dan hafalan. Soal apresiasi sastera hanya sedikit dan tidak mencerminkan nilai-nilai kehidupan masyarakat, apalagi soal apresiasi sastera hanya menanyakan siapa pengarangnya, terbitan angkatan berapa dan sebagainya yang berupa hafalan saja. Tujuan pengajaran sastera bukan hanya sekedar untuk itu, atau lebih sempitnya lagi novel dipakai sebagai bahan pengajaran sastera bukan hanya sekedar untuk diketahui siapa pengarangnya dan bagaimana jalan ceritanya tetapi ada manfaat yang banyak diperoleh dengan membaca novel yang berbobot sastera. Manfaat itu misalnya:memberikan kesadaran kepada pembacanya tentang kebenaran-kebenaran hidup ini, kita dapat memperoleh pengetahuan dan pemahaaman yang mendalam tentang manusia, dunia dan kehidupan , menjadikan manusia berbudaya dan dewasa, dan masih banyak lagi manfaat karya sastera yang berbentuk novel.
Soal-soal EBTANAS seharusnya mencerminkan seperti itu dan soal-soal masuk ke perguruan tinggi juga senada dengan soal-soal EBTANAS, biar siswa yang akan mengikuti tes perguruan tinggi tidak gentar sama sekali, sebab mereka sudah mengenal soal semacam sewaktu mereka mengikuti EBTANAS.

4.5 MINAT MEMBACA KARYA SASTERA
Kendala yang terakhit ini saya kira bukan hanya pada karya sastera, tetapi juga lebih meluas dalam arti minat membaca secara keseluruhan. Yang menyebabkan kendala tersebut sangat kompleks. Salah satu alternatif untuk memupuk minat membaca novel yang berbobot sastera adalah guru memberi tugas siswa untuk membuat sinopsisnya dan membuat komentar tentang isi novel yang bisa dihubungkan dengan nilai kehidupan sekarang, nilai moral, nilai budaya tempat siswa tinggal dan nilai-nilai sastera lainnya.
Sebenarnya kegemaran membaca novel populer dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan minat baca novel serius, tinggal bagaimana guru mengantisipasinya. Dalam hal ini Dr. Boen Sri Oemaryati mempunyai cara yang menarik untuk diikuti (Boen. S Oemaryati,1988:3-8), antara lain dengan jalan komparatif. Misalnya jika bahan pengajarannya novel Salah Asuhan, untuk memancing perhatian para siswa dapat dilakukan dengan jalan menceritakan Sok Nyentrik yang ada kesejajaran temannya. Dengan demikian juga jika akan membicarakan novel Sutan Takdir Alisyahbana yang berjudul Dian Yang Tak Kunjung Padam, para siswa yang pernah membaca Cintaku di Kampus Biru karya Ashadi Siregar diminta terlebih dahulu mengisahkannya, kemudian diadakan diskusi untuk membandingkan perilaku tokoh, perbedaan latar dan konterks ceritanya.
Cara lain dapat dilakukan dengan jalan: (1) memberi contoh, (2) memberi sugesti, (3) memberi kemudahan, dan (4) memberi pengukuhan. (Moody,1979:45-48), atau Rahmanto,1988:66-70). Memberi contoh dimaksudkan misalnya dengan jalan membacakan bagian-bagian tertentu dari novel tersebut yang menarik perhatian para siswa dengan suara yang menggetarkan hati siswa bila ceritanya sedih, atau dengan suara ceria bila ceritanya gembira penuh humor, bahkan dengan suara yang menyeramkan bila ceritanya penuh dengan yang mengerikan. Dengan demikian siswa terpukau dan merasa tertarik untuk membaca sendiri novel tersebut di rumah. Memberi sugesti  maksudnya memberikan pengaruh kuat yang dapat menggugah hati para siswa dengan jalan misalnya memberikan informasi dengan jelas terhadap buku yang diperoleh (di perpustakaan sekolah, di perpustakaan wilayah, di tempat penyewaan novel atau di toko buku novel). Bahkan menceritakan kejadian-kejadian tertentu dari novel dengan dihubungkan dengan pengalaman guru itu sendiri atau diberi ulasan menarik yang dihubungkan dengan kejadian-kejadian di masyarakat, sehingga membuka mata hati siswa betapa novel tersebut bisa dijadikan contoh, pegangan dalam kehidupan siswa di masyarakat. Memberi kemudahan dimaksudkan sebagai usaha konkret dari guru tersebut untuk mengadakan buku tersebut (paling mudah menambah eksemplar buku tersebut di perpustakaan atau fotokopi buku tersebut), sehingga siswa dengan mudah memperoleh buku tersebut walaupun fotokopinya, yang penting siswa dapat menikmati dan membaca sendiri novel tersebut. Dan yang terakhir memberikan pengukuhan artinya memeriksa hasil laporan para siswa dengan serius. Laporan dapat dipolakan sebagai berikut:(1) judul buku, (2) nama pengarang, (3) penerbit, (4) tahun terbit,( 5) tanggal novel tersebut dibaca, (6) siapa saja tokoh ceritanya, (7) masalah apa yang dikemukakan, (8) unsur instrinsik novel, (9) unsur ekstrinsik novel, (10) kutipan-kutipan menarik, (11) komentar dan kritik terhadap novel tersebut, (12) pendapat para pakar mengenai novel tersebut. Bahkan hasilnya dijilid dan disumbangkan ke perpustakaan sekolah untuk menambah koleksi perpustakaan, sehingga siswa merasa bangga nama dan karyanya dapat dibaca oleh siswa lain dari tahun ke tahun yang sangat bermanfaat untuk siswa lain. Dan siapa tahu hasil karya siswa tersebut dapat dibaca oleh anaknya di kemudian hari, bila anaknya bersekolah di sekolah itu. Itu merupakan kebanggaan tersendiri dan kenangan yang tak ternilai harganya.


5. PENUTUP
Problematik pengajaran apresiasi sastera di atas merupakan pengalaman penulis yang mungkin dapat bermanfaat bagi guru bahasa Indonesia yang lain. Ini hanya merupakan hasil tanya jawab dalam frekuensi waktu yang cukup lama, kemudian dicoba untuk dinfentarisasikan, lalu dicoba pula untuk dicarikan alternatif jawabannya.
Dengan metode yang tepat dan ditambah media yang menarik problematik pengajaran apresiasi sastera dapat diatasi. Apalagi bila apresiasi novel dilombakan antarsiswa di sekolah itu pada tiap tahun, pasti dapat menambah minat baca siswa terhadap novel tersebut. Apalagi bila akhir cawu diadakan dialog sastera, atau seminar di sekolah itu. Bahkan bila perlu mendatangkan para pakar untuk memotivasi minat baca siswa terhadap novel. Palingk tidak guru tersebut mengadakan lesehan sambil berbincang-bincang dengan siswa tentang berbagai macam novel sesuai dengan angkatannya. Dan bila perlu mengundang guru lain dari sekolah lain dan  mengundang siswa lain yang berminat tentag apresiasi novel dari sekolah lain.









DARTAR RUJUKAN

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.1994.Kurikulum SMA 1994 GBPP Bidang Studi Bahasa Indonesia
Chamdiah,Siti,dkk.1981.Kemampuan Mengapresiasi Cerita Rekaan Siswa Kelas III SMA DKI Jakarta.Jakarta:Pusat Bahasa
Moody,H.L.B.1979.The Teaching of Literature.London:Longman
Nicholls,Andrey &Howard.1976.Deeloping A Curriculum A Practical Guide.London:George Allen & Unwin Ltd
Oemaryati,Boen Sri.1983.Pengajaran Sastera Indonesia dan Pembinaan Apresiasi Sastera.Kongres Bahasa Indonesia III.Jakarta:Pusat Bahasa
--------------.1988.Pembinaan Apresiasi Sastera dalam Proses Belajar Mengajar. Makalah Bulan Bahasa.IKIP Jakarta
Rahmanto,B.1988.Mencari Model Buku Teks Pengajaran Sastera yang Apresiatif.Pembinaan Bahasa Indonesia.Sept.Th 9,3
-------------.1988.Metode Pengajaran Sastera.Yogyakarta:Kanisius
Sarwadi.1974.Pengantar Pengajaran Sastera.Yogyakarta:FKSS IKIP
Sumardjo,Jakob.1988.Masalah Pemasyarakatan Sastera di Indonesia.Makalah Kongres Bahasa Indonesia V
Tarno.1988.Pengajaran Bahasa dan Sastera Indonesia di Daerah-daerah Pinggiran.Makalah konagres Bahasa V
PROBLEMATIK PENGAJARAN APRESIASI NOVEL DI SMA

I.                   PENDAHULUAN
Dalam setiap pertemuan ilmiah dan seminar kebahasaan kesasteraan, keluhan umum yang selalu terdengar dari pada pengajar bahasa dan sastera Indonesia di SMA antara lain ialah alokasi waktu pokok bahasan apresiasi Bahasa dan Sastera Indonesia dirasakan sangat kurang. Bahan pengajaran pokok bahasan tersebut cukup banyak dan luas. Sementara itu para pengajar hasus pandai berkelit jika bahan yang termuat dalam pokok bahasan tersebut ingin diselesaikan dengan sungguh-sungguh bersifat aparesiatif. Para guru sastera Indonesia yang sejalan dengan pemikiran Dr. Boen S. Oemariyati (1978:195) dalam hal pengajaran sastera di sekolah menengah, akan dihadapkan pada dilema yang sudah “mengklasik” yaitu:ingin bersifat apresiatif tetapi waktunya tidak mencukupi.
Keluhan lain adalah sulitnya menemukan buku-buku pelengkap sastera Indonesia yang memadahi (Rahmanto,1988:161), serta minimnya buku-buku karya sastera yang ditunjuk sebagai bahan pengajaran sastera di perpustakaan sekolah, terlebih-lebih untuk pengajaran novel (bandingkan Tarno,1988:32). Hal semacam ini kadang-kadang masih ditambah lagi dengan kurangnya minat membaca buku karya sastera, baik dari pihak guru maupun siswanya. Kendala dari pihak guru (biasanya sudah “mengklasik”) antara lain ialah tiada waktu lagi untuk mengulang baca novel-novel yang dipergunakan sebagai bahan pengajaran sastera. Sementara dari pihak siswa alasan yang sudah umum yang sering terdengar adalah ketiadaktertarikan mereka untuk membaca novel-novel terbitan lama yang berstatus sastera.
Kegemaran membaca novel bagi para siswa memang ada (Chamdiah,1981:36), tetapi tampaknya lebih ditujukan pada membaca novel-novel populer yang lebih mengasyikkan baik jalan cerita maupun bahasanya. Akhirnya jalan pintas pun ditempuh. Baik guru maupun siswa, sama-sama menggantungkan buku ringkasan novel yang banyak dijumpai di pasaran. Jika demikian yang terjadi, bagaimana mereka akan dapat menaksir unsur alur, tokoh, tema dan unsur-unsur ekstrinsik-instrinsik dalam novel-novel yang harus dipakai sebagai bahan pengajaran seperti : Salah Asuhan, Siti Nurbaya, Belenggu, Layar Terkebang, Pada Sebuah Kapal, Raumanen, Harimau! Harimau!, Pergolakan, Robohnya Surau Kami, Burung-burung Manyar dan sebagainya?. Mereka tidak salah jika akhirnya mereka hanya akan menghafalkan nama pengarang, karya-karyanya, tokoh utama, tokoh tambahannya, sinopsisnya dan tema yang sudah dikemukakan oleh kebanyakan buku paket dan buku-buku ringkasan novel tersebut?. Padahal novel-novel tersebut kebanyakan keluar dalam soal-soal ulangan, soal-soal EBTANAS, atau tes masuk perguruan tinggi.

II.                MASALAH
Makalah ini akan memfokuskan beberapa kendala pengajaran novel di SMA. Beberapa indikator yang dipergunakan adalah hasil wawancara dari teman-teman guru Bahasa Indonesia yang sekota dengan penulis. Kendala tersebut merupakan problematik pengajaran apresiasi novel yaitu : (1) alokasi waktu, (2) pengadaan buku-buku novel di perpustakaan sekolah, (3) buku paket Pelajaran Bahasa dan Sastera Indonesia, (4) soal-soal EBTANAS, (5) minat baca membaca karya sastera.

III.             PROBLEMATIK PENGAJARAN APRESIASI NOVEL
3.1  ALOKASI WAKTU
Keluhan yang umum terdengar berkisar pada masalah alokasi waktu. Pokok bahasan Apresiasi Bahasa dan Sastera Indonesia hanyalah bagian kecil dari keseluruhan bahan pengajaran bahasa Indonesia yang terdiri atas: membaca, menulis, menyimak, berbicara dan apresiasi bahasa dan sastera Indonesia. Kelima pokok bahasan tersebut dipegang oleh satu orang pengajar bahasa Indonesia, belum lagi guru tersebut mengajar di kelas tingkatan yang berbeda. Dari kelima pokok bahasan tersebut tampaknya dipadukan dalam setiap kali tatap muka dan yang paling membutuhkan bacaan yang lebih banyak jika ingin bersifat apresiatif adalah apresiasi sastera. Di buku paket Terampil Berbahasa Indonesia kadang informasi tentang sastera kurang sekali dan hal ini mengakibatkan guru sering kelabakan dalam mengajarkan apresiasi sastera sehingga guru Bahasa Indonesia kurang antusias dalam mengajarkan apresiasi sastera.Siswa tidak termotivasi untuk membaca novel lengkap, apalagi novel tersebut tidak ada di perpustakaan sekolah.

3.2  PENGADAAN BUKU-BUKU NOVEL DI PERPUSTAKAAN SEKOLAH
Setiap SMA memang dilengkapi dengan perpustakaan sekolah. Tetapi, kebanyakan buku-buku novel di perpustakaan sekolah berisikan lingkungan hidup, kemanusiaan, petualangan dan sebagainya, tidak ada novel-novel yang seperti ditunjuk kurikulum.
Jika ada novel yang ditunjuk dalam kurikulum kemungkinan hanya satu judul, padahal satu kelas siswanya sebanyak 40 orang atau lebih, apakah artinya satu buku untuk setiap kelas?.

3.3  BUKU PAKET PELAJARAN BAHASA DAN SASTERA INDONESIA
Setelah pihak Departemen  Pendidikan dan Kebudayaan  yang sekarang menjadi Departemen Pendidikan Nasional  memberikan kesempatan pada pihak swasta untuk mengadakan buku paket bahasa Indonesia, dewasa ini di pasaran beredar buku paket yang disusun sesuai dengan kurikulum yang berlaku . Ini jelas sesuatu yang sangat positif, terlepas dari bermutu atau  tidaknya buku paket tersebut.
Ada beberapa buku paket terbitan Bandung, Jakarta, dan Malang yang menyampaikan bahan pengajaran Apresiasi Bahasa dan Sastera Indonesia, serta bentuk latihan yang ditawarkan belum menjabarkan secara benar bagaimana periodisasi sejarah sastera Indonesia. Buku-buku tersebut belum menjabarkan secara benar bagaimana menaksir dan menafsir unsur instrinsik dan esktrinsik karya sastera , dan belum secara tepat menangkap maksud bagaimana membuat kritik sederhana atas karya-karya sastera. Secara umum, dari sudut latihan yang dikemukakan, di samping belum sepenuhnya menjawab keterampilan proses seperti yang dikehendaki kurikulum, latihannya kadang-kadang tidak proporsional, tidak memperhitungkan waktu dan tingkat kemampuan siswa. Hanya buku Paket Terampil Berbahasa Indonesia 4 yang khusus jurusan Bahasa yang sudah cukup membantu guru-guru di dalam mengajarkan materi Bahasa dan Sastera Indonesia.

3.4  SOAL-SOAL EBTANAS
Hampir setiap guru bahasa dan sastera Indonesia yang penulis jumpai mengemukakan masalah soal EBTANAS. Dalam soal EBTANAS yang menyangkut sastera sangat sedikit di samping itu bentuk soal mengarah pada bentuk hafalan. Menurut Penulis hal ini tidak perlu memaksa siswa untuk menghafal novel-novel yang cukup tebal.
3.5  MINAT MEMBACA KARYA SASTERA
Kendala yang paling erat adalah kurangnya minat para siswa untuk membaca karya sastera. Hal yang sangat aneh bahwa tidak satupun  surat kabar  yang terbit di negara kita ini yang tidak memuat cerita  bersambung dan cerita pendek, demikian juga majalah-majalah yang ada. Apakah itu bukan menunjukkan suatu indikasi bahwa novel dan cerpen masih digemari dan dibaca orang, termasuk para siswa SMA?. Apalagi majalah Horison yang selalu terbit setiap bulan dikirim secara gratis ke sekolah-sekolah, terutama SMA di Indonesia. Kenyataannya mengapa  para guru  sastera mengeluh bahwa para siswanya kurang berminat untuk membaca karya sastera? Padahal karya-karya Marga T, Ashadi Siregar, Maria A Sarjono, Hilman dan sebagainya sangat laris diminati oleh para siswa.
Ada beberapa guru SMA  yang mengatakan bahwa mereka pernah membuat suatu angket  kepada  para siswanya. Dari  hasil jawaban angket tersebut menyatakan bahwa novel Salah Asuhan atau Siti Nurbaya tidak menarik buat siswa. Hal ini disebabkan ceritanya sudah kuno dan membosankan, apalagi guru bahasa Indonesia tidak memotivasi siswanya untuk membaca novel tersebut.

4. ALTERNATIF PEMECAHAN
4.1 MASALAH ALOKASI WAKTU YANG  KURANG
Sudah bukan rahasia lagi bahwa kecenderungan guru dalam mengajar (termasuk sastera) selalu ingin tuntas, dalam arti setiap bahan yang ada dalam kurikulum harus diterangkan, dijelaskan dalam bentuk ceramah. Siswa tinggal menelan, dan kelak diharapkan dapat memproduksi lagi dengan tepat dalam  bentuk ulangan/tes. Bila demikian yang terjadi tentu saja alokasi waktu yang tersedia pasti kurang. Padahal dalam kurikulum 1994 bentuk pengajaran apresiasi sastera banyak menggunakan keterampilan proses yang mengacu kepada bagaimana seseorang belajar, apa yang ia pelajari, dan bagaimana ia mengelola atau mengolah perolehannya. Keterampilan proses erat hubungannya dengan strategi CBSA yang memungkinkan dapat mengatasi keterbatasan alokasi waktu tersebut. Misalnya: Siswa kita beri tugas untuk dikerjakan di rumah, di kelas tinggal mendiskusikannya atau memecahkan persoalan siswa dalam mengapresiasi karya sastera tersebut. Bahkan siswa kita beri kesempatan untuk bertanya jawab dan guru  meluruskannya apabila ada hal-hal yang menyimpang dari pokok bahasan yang kita bahas saat itu. Dengan demikian alokasi waktu tidak terbuang begitu saja dan sangat berharga bagi siswa, sehingga siswa dapat merasa puas dengan hal tersebut maka pengajaran apresiasi sastera tuntas.

4.2 PENGADAAN BUKU-BUKU NOVEL DI PERPUSTAKAAN SEKOLAH
Masalah ini cukup kompleks. Kita berusaha mengadakan pendekatan kepada kepala sekolah untuk pengadaan buku-buku novel di perpustakaan. Bila memang tidak terprogram oleh program sekolah,kita mengusulkan kepada kepala sekolah untuk menggali dana melalui siswa yang akan lulus untuk menyumbangkan sebuah novel per kelompok atau perorangan. Dengan demikian koleksi buku-buku novel akan bertambah terus di perpustakaan, sehingga siswa berikutnya akan bisa menikmati novel-novel tersebut sebagai sumbangan dari kakak kelasnya yang sudah lulus. Di samping itu siswa baru yang akan menjadi anggota perpustakaan diwajibkan membeli kartu anggota untuk menjadi peminjam buku perpustakaan dengan dana yang cukup. Sebagian dari penjualan kartu anggota akan dipakai untuk pengadaan buku-buku novel yang dianjurkan oleh kurikulum tersebut.
Alternatif lainnya yang pernah penulis lakukan karena penulis pernah menjadi pembina perpustakaan sekolah adalah siswa kita himbau untuk mengadakan bakti sosial setiap bulan sekali untuk menyumbangkan koran bekas ke sekolah mulai kelas I sampai kelas III. Koran bekas itu kita jual dan hasilnya lumayan untuk pengadaan buku-buku novel di perpustakaan sekolah. Setiap bulan buku-buku novel bertambah terus jumlahnya. Siswa kita motivasi untuk beramal demi peningkatan mutu pendidikan sekolah dan membantu siswa lain yang belum pernah membaca novel tersebut.

4.3 BUKU PAKET PELAJARAN BAHASA DAN SASTERA INDONESIA
Banyak buku paket pelajaran Bahasa dan Sastera Indonesia yang ditawarkan kepada para konsumsi jelas pertanda baik, karena  buku paket Terampil Berbahasa Indonesia memang kurang memadahi jumlahnya di setiap sekolah. Di sekolah penulis, satu buku paket untuk empat siswa. Di samping buku paket Terampil Berbahasa Indonesia kita pinjamkan ke siswa per kelompok, siswa kita himbau untuk membeli buku paket lainnya sebagai pelengkap saja. Hanya masalahnya bagaimana mengatasi kendala yang berasal dari buku paket yang hanya mencantumkan label CBSA, ini merupakan tantangan bagi para pakar untuk ikut menggarapnya, menghasilkan buku paket yang sungguh-sungguh berorientasi pada CBSA lengkap dengan buku siswa, buku guru, dan LKS.


4.4 EVALUASI EBTANAS
Soal-soal EBTANAS  kadang hanya berupa hafalan, teoritis tanpa melihat kondisi siswa yang beraneka ragam di Indonesia. Bahkan soal-soal EBTANAS sering tidak bisa terjawab oleh siswa, karena terlalu teoritis dan hafalan. Soal apresiasi sastera hanya sedikit dan tidak mencerminkan nilai-nilai kehidupan masyarakat, apalagi soal apresiasi sastera hanya menanyakan siapa pengarangnya, terbitan angkatan berapa dan sebagainya yang berupa hafalan saja. Tujuan pengajaran sastera bukan hanya sekedar untuk itu, atau lebih sempitnya lagi novel dipakai sebagai bahan pengajaran sastera bukan hanya sekedar untuk diketahui siapa pengarangnya dan bagaimana jalan ceritanya tetapi ada manfaat yang banyak diperoleh dengan membaca novel yang berbobot sastera. Manfaat itu misalnya:memberikan kesadaran kepada pembacanya tentang kebenaran-kebenaran hidup ini, kita dapat memperoleh pengetahuan dan pemahaaman yang mendalam tentang manusia, dunia dan kehidupan , menjadikan manusia berbudaya dan dewasa, dan masih banyak lagi manfaat karya sastera yang berbentuk novel.
Soal-soal EBTANAS seharusnya mencerminkan seperti itu dan soal-soal masuk ke perguruan tinggi juga senada dengan soal-soal EBTANAS, biar siswa yang akan mengikuti tes perguruan tinggi tidak gentar sama sekali, sebab mereka sudah mengenal soal semacam sewaktu mereka mengikuti EBTANAS.

4.5 MINAT MEMBACA KARYA SASTERA
Kendala yang terakhit ini saya kira bukan hanya pada karya sastera, tetapi juga lebih meluas dalam arti minat membaca secara keseluruhan. Yang menyebabkan kendala tersebut sangat kompleks. Salah satu alternatif untuk memupuk minat membaca novel yang berbobot sastera adalah guru memberi tugas siswa untuk membuat sinopsisnya dan membuat komentar tentang isi novel yang bisa dihubungkan dengan nilai kehidupan sekarang, nilai moral, nilai budaya tempat siswa tinggal dan nilai-nilai sastera lainnya.
Sebenarnya kegemaran membaca novel populer dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan minat baca novel serius, tinggal bagaimana guru mengantisipasinya. Dalam hal ini Dr. Boen Sri Oemaryati mempunyai cara yang menarik untuk diikuti (Boen. S Oemaryati,1988:3-8), antara lain dengan jalan komparatif. Misalnya jika bahan pengajarannya novel Salah Asuhan, untuk memancing perhatian para siswa dapat dilakukan dengan jalan menceritakan Sok Nyentrik yang ada kesejajaran temannya. Dengan demikian juga jika akan membicarakan novel Sutan Takdir Alisyahbana yang berjudul Dian Yang Tak Kunjung Padam, para siswa yang pernah membaca Cintaku di Kampus Biru karya Ashadi Siregar diminta terlebih dahulu mengisahkannya, kemudian diadakan diskusi untuk membandingkan perilaku tokoh, perbedaan latar dan konterks ceritanya.
Cara lain dapat dilakukan dengan jalan: (1) memberi contoh, (2) memberi sugesti, (3) memberi kemudahan, dan (4) memberi pengukuhan. (Moody,1979:45-48), atau Rahmanto,1988:66-70). Memberi contoh dimaksudkan misalnya dengan jalan membacakan bagian-bagian tertentu dari novel tersebut yang menarik perhatian para siswa dengan suara yang menggetarkan hati siswa bila ceritanya sedih, atau dengan suara ceria bila ceritanya gembira penuh humor, bahkan dengan suara yang menyeramkan bila ceritanya penuh dengan yang mengerikan. Dengan demikian siswa terpukau dan merasa tertarik untuk membaca sendiri novel tersebut di rumah. Memberi sugesti  maksudnya memberikan pengaruh kuat yang dapat menggugah hati para siswa dengan jalan misalnya memberikan informasi dengan jelas terhadap buku yang diperoleh (di perpustakaan sekolah, di perpustakaan wilayah, di tempat penyewaan novel atau di toko buku novel). Bahkan menceritakan kejadian-kejadian tertentu dari novel dengan dihubungkan dengan pengalaman guru itu sendiri atau diberi ulasan menarik yang dihubungkan dengan kejadian-kejadian di masyarakat, sehingga membuka mata hati siswa betapa novel tersebut bisa dijadikan contoh, pegangan dalam kehidupan siswa di masyarakat. Memberi kemudahan dimaksudkan sebagai usaha konkret dari guru tersebut untuk mengadakan buku tersebut (paling mudah menambah eksemplar buku tersebut di perpustakaan atau fotokopi buku tersebut), sehingga siswa dengan mudah memperoleh buku tersebut walaupun fotokopinya, yang penting siswa dapat menikmati dan membaca sendiri novel tersebut. Dan yang terakhir memberikan pengukuhan artinya memeriksa hasil laporan para siswa dengan serius. Laporan dapat dipolakan sebagai berikut:(1) judul buku, (2) nama pengarang, (3) penerbit, (4) tahun terbit,( 5) tanggal novel tersebut dibaca, (6) siapa saja tokoh ceritanya, (7) masalah apa yang dikemukakan, (8) unsur instrinsik novel, (9) unsur ekstrinsik novel, (10) kutipan-kutipan menarik, (11) komentar dan kritik terhadap novel tersebut, (12) pendapat para pakar mengenai novel tersebut. Bahkan hasilnya dijilid dan disumbangkan ke perpustakaan sekolah untuk menambah koleksi perpustakaan, sehingga siswa merasa bangga nama dan karyanya dapat dibaca oleh siswa lain dari tahun ke tahun yang sangat bermanfaat untuk siswa lain. Dan siapa tahu hasil karya siswa tersebut dapat dibaca oleh anaknya di kemudian hari, bila anaknya bersekolah di sekolah itu. Itu merupakan kebanggaan tersendiri dan kenangan yang tak ternilai harganya.


5. PENUTUP
Problematik pengajaran apresiasi sastera di atas merupakan pengalaman penulis yang mungkin dapat bermanfaat bagi guru bahasa Indonesia yang lain. Ini hanya merupakan hasil tanya jawab dalam frekuensi waktu yang cukup lama, kemudian dicoba untuk dinfentarisasikan, lalu dicoba pula untuk dicarikan alternatif jawabannya.
Dengan metode yang tepat dan ditambah media yang menarik problematik pengajaran apresiasi sastera dapat diatasi. Apalagi bila apresiasi novel dilombakan antarsiswa di sekolah itu pada tiap tahun, pasti dapat menambah minat baca siswa terhadap novel tersebut. Apalagi bila akhir cawu diadakan dialog sastera, atau seminar di sekolah itu. Bahkan bila perlu mendatangkan para pakar untuk memotivasi minat baca siswa terhadap novel. Palingk tidak guru tersebut mengadakan lesehan sambil berbincang-bincang dengan siswa tentang berbagai macam novel sesuai dengan angkatannya. Dan bila perlu mengundang guru lain dari sekolah lain dan  mengundang siswa lain yang berminat tentag apresiasi novel dari sekolah lain.









DARTAR RUJUKAN

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.1994.Kurikulum SMA 1994 GBPP Bidang Studi Bahasa Indonesia
Chamdiah,Siti,dkk.1981.Kemampuan Mengapresiasi Cerita Rekaan Siswa Kelas III SMA DKI Jakarta.Jakarta:Pusat Bahasa
Moody,H.L.B.1979.The Teaching of Literature.London:Longman
Nicholls,Andrey &Howard.1976.Deeloping A Curriculum A Practical Guide.London:George Allen & Unwin Ltd
Oemaryati,Boen Sri.1983.Pengajaran Sastera Indonesia dan Pembinaan Apresiasi Sastera.Kongres Bahasa Indonesia III.Jakarta:Pusat Bahasa
--------------.1988.Pembinaan Apresiasi Sastera dalam Proses Belajar Mengajar. Makalah Bulan Bahasa.IKIP Jakarta
Rahmanto,B.1988.Mencari Model Buku Teks Pengajaran Sastera yang Apresiatif.Pembinaan Bahasa Indonesia.Sept.Th 9,3
-------------.1988.Metode Pengajaran Sastera.Yogyakarta:Kanisius
Sarwadi.1974.Pengantar Pengajaran Sastera.Yogyakarta:FKSS IKIP
Sumardjo,Jakob.1988.Masalah Pemasyarakatan Sastera di Indonesia.Makalah Kongres Bahasa Indonesia V
Tarno.1988.Pengajaran Bahasa dan Sastera Indonesia di Daerah-daerah Pinggiran.Makalah konagres Bahasa V

Tidak ada komentar:

Posting Komentar